Rabu, 20 April 2016

You don't know how it hurts (PART 2)

       Semoga hari ini adalah hari baik untuk ku. Rasanya aku sudah bosan mengunjungi kampus ini dan tiba saatnya ini akan menjadi hari terakhirku menjadi mahasiswa.
“Sayang, berdoa dulu ya, jangan gugup, aku yakin kamu pasti lulus”, Galih menggenggam tanganku erat dan sedikit gemetar. Aku menatapnya erat-erat lalu tertawa. “Hei kenapa kamu yang grogi? kan aku yang mau sidang? terima kasih ya semangatnya, doakan aku ya”. Aku menuju ruang sidang dan Galih setia menungguku diluar ruangan hingga aku keluar dan membawa kabar gembira untuknya. “Everything’s gonna be okay sayang”, aku tersenyum menatapnya yang terlihat khawatir.
            Selamat menjadi pengangguran Rey !! hahaha batinku dalam hati. Tak masalah, aku bahagia karena hari demi hari pun terlewati bersamanya. Galih setia menemaniku layaknya sahabat dan memarahiku layaknya seorang kakak. Hari ini adalah jadwal kami mengunjungi sebuah job fair di Surabaya. Bukan pertama kalinya dia menemaniku datang untuk melihat bursa kerja. Terkadang aku sedih karena statusnya yang baru akan mengambil skripsi tahun depan tapi disisi lain aku berjanji pada diriku sendiri “aku akan selalu ada buat mu, boleh jadi kita tidak bisa memakai toga bersama, tapi aku akan menunggu dan kita akan sukses bersama”.
“Yang, coba deh kamu daftar PT. Hogwartz itu, bagus kok”, Galih menunjuk ke sebuah papan.
 “Nggak mau ah, itu di Jakarta. Jauh”
“Ya semua dicoba dulu kali yang, jangan terlalu milih juga, siapa tau rejekimu disitu, kan aku juga bisa nyusul ke Jakarta nanti”, Galih coba merayuku.
“hmm liat tuh antri nya. Males ah, daftar yang lain aja” Aku tetap menolak.
“Sini berkasmu, aku yang antri, kamu duduk aja di tangga sana”, Galih merebut map ku dan menuju ke antrian. Aku berjalan menuju tangga dan memandangnya dari kejauhan.

            Seminggu kemudian, dua perusahaan memberitahuku tentang jadwal tes. Oh my God, kenapa tes nya di hari yang sama sih ?! Ini artinya aku akan mengikuti tes dari pagi hingga petang di lokasi yang berbeda. Terbayang sudah bagaimana lelahnya hari itu.
“Aku temenin lah, kamu semangat dong, baru juga tes awal uda ngeluh”, Galih menggodaku.
“Kamu nemenin? janganlah !! itu dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang terus lanjut lagi di lokasi yang berbeda dari jam 1 siang sampe maghrib “
“Lha terus kenapa? bukannya udah biasa ya aku nemenin kamu seharian? besok aku jemput jam6 pagi biar kamu nggak terlambat”, Paksanya.
“Yauda kamu antar aku aja deh terus kamu pulang, nanti jemput aku lagi”,
“Nggak ah, ribet mondar mandir. Nggak apa aku tungguin di kantinnya aja nanti, aku bisa main game kok di tab”
Entah apa yang ada di pikiran laki-laki di depanku ini. Mungkin ini yang dinamakan bila hati sudah tulus mencintai, apapun akan dilakukannya jika itu untuk orang yang disayanginya.
***
                “Sayang, entah aku harus bahagia atau sedih. Aku diterima di PT. Hogwartz, aku akan tinggal di Jakarta. Aku bersyukur tapi aku membenci semua ini, aku tidak ingin jauh dari kamu. Bagaimana aku sanggup sedangkan setiap hari aku selalu bersamamu. Ini semua gara-gara kamu, kamu yang menuntunku ke takdir ini.”
“Alhamdulillah. Aku senang dengernya, kamu nggak boleh ngomong gitu, kamu harus bersyukur, Allah beri pekerjaan kamu dengan cepat. Nanti aku main ke Jakarta lah, kita kan sudah bosan berpetualang di Surabaya, saatnya kita menyusuri Jakarta, kita taklukkan semua kulinernya hahaha”, Galih terlihat bahagia atas keberhasilanku.
“Apakah kita bisa menjalani LDR? Apakah kita sanggup?”, sekali lagi aku tidak pernah percaya dengan keberhasilan LDR.
Why not? Tahun depan aku ambil skripsi, udah nggak ada kuliah lagi. Kita hanya perlu bertahan sebentar untuk jauh. Nanti aku nyusul kamu kok kerja di Jakarta”.
Aku memeluk tubuh di depanku dengan bahagia. Sekali lagi, aku bersyukur mengenalnya. Laki-laki yang tidak pernah lelah dan menyerah denganku. Dia tidak pernah menyerah membuatku kuat dan yakin bahwa aku bisa.
                Surabaya, 2 Desember 2015. Aku membenci semua perpisahan. Mengapa harus ada pertemuan jika perpisahan adalah hal yang wajar? Aku mendorong koperku menyusuri lorong menuju kereta arah Jakarta. Airmata ku tak berhenti menetes mengiringi tiap langkahku yang semakin jauh dari ruang tunggu. Aku meletakkan koperku lalu aku berlari keluar menuju ruang tunggu.
“Maaf pak saya keluar lagi, ada yang ketinggalan”, ijinku kepada petugas.
Aku berlari mencari Galih. Aku menggenggam erat tangannya yang berkeringat dan gemetar. Airmata ku terus mengalir.
“Kamu harus ke Jakarta dalam waktu dekat ya”, ucapku pelan.
“Iya, insha Allah, Januari aku ke Jakarta, kamu ngapain balik lagi? Nanti ketinggalan kereta lho”
“Aku masih ingin lihat kamu. Aku titip ibu dan adek aku ya, anterin ibu berobat ke rumah sakit kayak biasanya”
“Iya siap. Kamu tenang aja, kalo ibu sama adek kamu butuh dianterin kemana-mana, langsung hubungi aku aja, mereka punya nomer aku kan. Nanti aku temenin. Kamu jangan nangis terus, malu dilihat orang lho”
“Biarin.. Inget ya kamu harus rajin, nggak boleh males terus. Kasian mama kamu, curhat terus tentang kuliah kamu”
***
                Tak terasa sudah 9 bulan aku merantau di ibu kota ini. Waktu berlalu begitu cepat hingga aku tersadar waktu membuat kami berbeda. Ikatan batin yang terbangun hampir 3 tahun ini tak bisa aku pungkiri lagi, aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ah sudahlah, tidak baik berprasangka buruk kepada Galih yang sangat baik pada ku. “Tuhan tolong hapuskan prasangka yang tak jelas ini.”
                Tiba saatnya hari yang ku tunggu. Hari ini aku akan bertemu Galih. Seperti biasa, kami sudah merencanakan aktivitas kami hari ini, dari pagi hingga malam, akan bersama. Galih menjemputku seperti biasa. Aku masuk ke dalam mobilnya dan ku rasakan aura yang berbeda. Batin ini semakin kuat mengatakan ada yang berbeda pada kami. Suasana hening seperti tak ada kerinduan seperti biasanya. Aku memandangnya lekat-lekat sampai dia membuka obrolan. “Hai yang, by the way, kamu udah nonton Running Man yang terbaru? Lucu loh, aku suka yang pas .....”, “Lih? Kamu tidak menanyakan kabarku?”, Dia memandangku lalu terdiam. Suasana pun hening kembali.
                 “Good night sayang, terima kasih untuk hari ini. Besok pagi anterin aku ya ke stasiun”, ucapku seraya membuka pintu mobil.
“Iya siap, besok aku anter, aku balik dulu ya”, Galih menyalakan mesin mobil dan tersenyum memandangku.
                “Taksi....!!” Aku bergegas menuju taksi yang menghampiriku, hampir saja terlambat, gumamku. Sesaat kemudian handphone ku berdering. Galih meneleponku.
“Sayang, kamu dimana sekarang? Maaf aku ketiduran”
“Aku sudah otw kok, nggak apa kok, aku bisa naik taksi”
“Aku nyusul kesana ya, nemenin sampai kereta mu berangkat”
“Nggak perlu, 15 menit lagi keretanya berangkat, pasti nggak keburu”. Aku menutup pembicaraan kami. Aku memandang suasana Kota Pahlawan di pagi hari dari balik kaca. Kota yang akan menjadi saksi kenangan suatu saat nanti.
                Aku tidak bisa berhenti berpikir tentang perasaan yang entahlah terasa aneh tapi aku pun tak tahu apa yang sedang aku pikirkan ini. Dimana kah harus ku cari jawabannya? Tapi bagaimana aku bisa menemukan jawabannya ketika aku sendiri pun tidak memiliki pertanyaannya? Sepertinya aku harus mengungkapkan semua ini pada Galih. Bukannya suatu komitmen harus didasari dengan keterbukaan?
“Sayang, aku merasa ada yang berbeda pada kita akhir-akhir ini. Aku merasa kita semakin jauh. Bisa kah kita bahas semua ini weekend nanti?” Aku mengirim pesan padanya.
“Iya sayang, kamu mau ngomong apa? Weekend nanti aku telepon ya.” Jawabnya singkat.
                Aku berharap weekend ini akan menjadi wadah yang menjembatani dimana kami bisa seperti dulu lagi. Aku hanya merasa mungkin hubungan kami sudah berada di titik kejenuhan mengingat kami sudah bersama hampir 3 tahun sehingga ini adalah fase wajar dalam sebuah hubungan. Tak ada firasat yang lebih buruk dari itu.

“Hai Rey, salam kenal ya. Susah sekali aku menghubungimu, akhirnya ku dapatkan juga kontakmu. Kenalkan aku Sandra. Aku sudah lama sekali penasaran siapa kah dirimu? Apa hubunganmu dengan Galih? Apa kau saudaranya?”. Sebuah pesan singkat dari nomer tidak dikenal.
“Halo Sandra, salam kenal juga. Galih? Dia pacar aku. Ada apa ya? Dan siapa kamu?” Balasku tidak sabar.
What?? Really? Galih mengaku padaku bahwa dia jomblo. Aku pacarnya, kami berkenalan 4 bulan yang lalu dan kami jadian 2 bulan yang lalu”
“Aku pacarnya. Kami sudah bersama hampir 3 tahun. Maaf, jangan becanda dengan ku, kalo kamu punya bukti, silahkan kirim semua bukti itu sehingga jelas siapa yang berbohong disini.” Kekhawatiran memuncak tapi aku berusaha tenang dan berpikir perempuan itu hanya main-main denganku. Tak lama kemudian, pesan dari Sandra ku terima. Kedua tangan dan jari-jariku gemetar, bibirku terkunci rapat, hanya airmata yang mengalir semakin deras. ‘Galih, mengapa kau lakukan ini padaku?’
                Aku mencoba menghentikan tangisanku ketika handphone ku berdering. Galih meneleponku. “Halo sayang, gimana? Kamu mau ngomong apa?”. “Galih, sinyal aku jelek, kita chat aja ya.” Aku sengaja mencari alasan dan menutup teleponku.
“Galih, siapakah Sandra?”
“Sandra? Oh itu teman aku waktu smp. Kita bertemu lagi waktu reunian kemarin. Ada apa dengan Sandra?”
Aku tak ingin membuang waktu lagi dengannya. Aku mengirim semua bukti yang ku dapat dari Sandra, “Jelaskan padaku lih, apa maksud semua ini..”

“Rey.. Aku tahu aku sangat jahat sama kamu, aku bodoh.. aku tahu bahkan permintaan maaf ku nggak akan pernah mengobati rasa sakit yang kamu rasain saat ini. Aku bahkan nggak tau rey kenapa aku bisa lakuin ini sama kamu, semua terjadi begitu saja.. Rey, kamu berhak sama orang yang jauh lebih baik, aku cuma laki-laki kotor yang nggak bisa pegang janji.. Maafin aku Rey..”

                Galih, terima kasih telah singgah meski hanya sementara. Persinggahanmu memberikan warna tersendiri di kehidupanku. Denganmu, aku mengenal banyak hal. Dan darimu, aku belajar satu hal berharga, betapa mahalnya sebuah kesetiaan. Kini aku menemukan jawabannya, alasan yang selama ini aku cari.. Mengapa aku bisa membencimu tanpa alasan? Kata hati memang tak pernah salah.
                                                                              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar