Semoga hari ini adalah hari baik untuk ku.
Rasanya aku sudah bosan mengunjungi kampus ini dan tiba saatnya ini akan
menjadi hari terakhirku menjadi mahasiswa.
“Sayang, berdoa dulu ya, jangan gugup, aku
yakin kamu pasti lulus”, Galih menggenggam tanganku erat dan sedikit gemetar.
Aku menatapnya erat-erat lalu tertawa. “Hei kenapa kamu yang grogi? kan aku
yang mau sidang? terima kasih ya semangatnya, doakan aku ya”. Aku menuju ruang
sidang dan Galih setia menungguku diluar ruangan hingga aku keluar dan membawa
kabar gembira untuknya. “Everything’s
gonna be okay sayang”, aku tersenyum menatapnya yang terlihat khawatir.
Selamat
menjadi pengangguran Rey !! hahaha batinku dalam hati. Tak masalah, aku bahagia
karena hari demi hari pun terlewati bersamanya. Galih setia menemaniku layaknya
sahabat dan memarahiku layaknya seorang kakak. Hari ini adalah jadwal kami
mengunjungi sebuah job fair di
Surabaya. Bukan pertama kalinya dia menemaniku datang untuk melihat bursa
kerja. Terkadang aku sedih karena statusnya yang baru akan mengambil skripsi
tahun depan tapi disisi lain aku berjanji pada diriku sendiri “aku akan selalu ada buat mu, boleh jadi kita
tidak bisa memakai toga bersama, tapi aku akan menunggu dan kita akan sukses
bersama”.
“Yang, coba deh kamu daftar PT.
Hogwartz itu, bagus kok”, Galih menunjuk ke sebuah papan.
“Nggak
mau ah, itu di Jakarta. Jauh”
“Ya semua dicoba dulu kali yang, jangan
terlalu milih juga, siapa tau rejekimu disitu, kan aku juga bisa nyusul ke
Jakarta nanti”, Galih coba merayuku.
“hmm liat tuh antri nya. Males ah, daftar yang
lain aja” Aku tetap menolak.
“Sini berkasmu, aku yang antri, kamu duduk aja
di tangga sana”, Galih merebut map ku dan menuju ke antrian. Aku berjalan
menuju tangga dan memandangnya dari kejauhan.
Seminggu
kemudian, dua perusahaan memberitahuku tentang jadwal tes. Oh my God, kenapa tes nya di hari yang sama sih ?! Ini artinya aku
akan mengikuti tes dari pagi hingga petang di lokasi yang berbeda. Terbayang
sudah bagaimana lelahnya hari itu.
“Aku temenin
lah, kamu semangat dong, baru juga tes awal uda ngeluh”, Galih menggodaku.
“Kamu
nemenin? janganlah !! itu dari jam 7 pagi sampai jam 12 siang terus lanjut lagi
di lokasi yang berbeda dari jam 1 siang sampe maghrib “
“Lha terus
kenapa? bukannya udah biasa ya aku nemenin kamu seharian? besok aku jemput jam6
pagi biar kamu nggak terlambat”, Paksanya.
“Yauda kamu
antar aku aja deh terus kamu pulang, nanti jemput aku lagi”,
“Nggak ah,
ribet mondar mandir. Nggak apa aku tungguin di kantinnya aja nanti, aku bisa main
game kok di tab”
Entah apa
yang ada di pikiran laki-laki di depanku ini. Mungkin ini yang dinamakan bila
hati sudah tulus mencintai, apapun akan dilakukannya jika itu untuk orang yang
disayanginya.
***
“Sayang, entah aku harus bahagia atau sedih. Aku diterima di PT.
Hogwartz, aku akan tinggal di Jakarta. Aku bersyukur tapi aku membenci semua
ini, aku tidak ingin jauh dari kamu. Bagaimana aku sanggup sedangkan setiap
hari aku selalu bersamamu. Ini semua gara-gara kamu, kamu yang menuntunku ke
takdir ini.”
“Alhamdulillah.
Aku senang dengernya, kamu nggak boleh ngomong gitu, kamu harus bersyukur,
Allah beri pekerjaan kamu dengan cepat. Nanti aku main ke Jakarta lah, kita kan
sudah bosan berpetualang di Surabaya, saatnya kita menyusuri Jakarta, kita
taklukkan semua kulinernya hahaha”, Galih terlihat bahagia atas keberhasilanku.
“Apakah kita
bisa menjalani LDR? Apakah kita sanggup?”, sekali lagi aku tidak pernah percaya
dengan keberhasilan LDR.
“Why not? Tahun depan aku ambil skripsi,
udah nggak ada kuliah lagi. Kita hanya perlu bertahan sebentar untuk jauh.
Nanti aku nyusul kamu kok kerja di Jakarta”.
Aku memeluk
tubuh di depanku dengan bahagia. Sekali lagi, aku bersyukur mengenalnya.
Laki-laki yang tidak pernah lelah dan menyerah denganku. Dia tidak pernah menyerah
membuatku kuat dan yakin bahwa aku bisa.
Surabaya, 2 Desember 2015. Aku membenci semua perpisahan. Mengapa
harus ada pertemuan jika perpisahan adalah hal yang wajar? Aku mendorong
koperku menyusuri lorong menuju kereta arah Jakarta. Airmata ku tak berhenti
menetes mengiringi tiap langkahku yang semakin jauh dari ruang tunggu. Aku
meletakkan koperku lalu aku berlari keluar menuju ruang tunggu.
“Maaf pak
saya keluar lagi, ada yang ketinggalan”, ijinku kepada petugas.
Aku berlari
mencari Galih. Aku menggenggam erat tangannya yang berkeringat dan gemetar.
Airmata ku terus mengalir.
“Kamu harus
ke Jakarta dalam waktu dekat ya”, ucapku pelan.
“Iya, insha
Allah, Januari aku ke Jakarta, kamu ngapain balik lagi? Nanti ketinggalan
kereta lho”
“Aku masih
ingin lihat kamu. Aku titip ibu dan adek aku ya, anterin ibu berobat ke rumah
sakit kayak biasanya”
“Iya siap.
Kamu tenang aja, kalo ibu sama adek kamu butuh dianterin kemana-mana, langsung
hubungi aku aja, mereka punya nomer aku kan. Nanti aku temenin. Kamu jangan
nangis terus, malu dilihat orang lho”
“Biarin..
Inget ya kamu harus rajin, nggak boleh males terus. Kasian mama kamu, curhat
terus tentang kuliah kamu”
***
Tak terasa sudah 9 bulan aku
merantau di ibu kota ini. Waktu berlalu begitu cepat hingga aku tersadar waktu
membuat kami berbeda. Ikatan batin yang terbangun hampir 3 tahun ini tak bisa
aku pungkiri lagi, aku merasakan sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Ah
sudahlah, tidak baik berprasangka buruk kepada Galih yang sangat baik pada ku. “Tuhan tolong hapuskan prasangka yang tak
jelas ini.”
Tiba saatnya hari yang ku tunggu.
Hari ini aku akan bertemu Galih. Seperti biasa, kami sudah merencanakan
aktivitas kami hari ini, dari pagi hingga malam, akan bersama. Galih
menjemputku seperti biasa. Aku masuk ke dalam mobilnya dan ku rasakan aura yang
berbeda. Batin ini semakin kuat mengatakan ada yang berbeda pada kami. Suasana
hening seperti tak ada kerinduan seperti biasanya. Aku memandangnya lekat-lekat
sampai dia membuka obrolan. “Hai yang, by
the way, kamu udah nonton Running Man
yang terbaru? Lucu loh, aku suka yang pas .....”, “Lih? Kamu tidak
menanyakan kabarku?”, Dia memandangku lalu terdiam. Suasana pun hening kembali.
“Good night sayang, terima kasih untuk hari
ini. Besok pagi anterin aku ya ke stasiun”, ucapku seraya membuka pintu mobil.
“Iya siap,
besok aku anter, aku balik dulu ya”, Galih menyalakan mesin mobil dan tersenyum
memandangku.
“Taksi....!!” Aku bergegas
menuju taksi yang menghampiriku, hampir saja terlambat, gumamku. Sesaat
kemudian handphone ku berdering. Galih meneleponku.
“Sayang, kamu
dimana sekarang? Maaf aku ketiduran”
“Aku sudah otw kok, nggak apa kok, aku bisa naik
taksi”
“Aku nyusul
kesana ya, nemenin sampai kereta mu berangkat”
“Nggak perlu,
15 menit lagi keretanya berangkat, pasti nggak keburu”. Aku menutup pembicaraan
kami. Aku memandang suasana Kota Pahlawan di pagi hari dari balik kaca. Kota yang
akan menjadi saksi kenangan suatu saat nanti.
Aku tidak bisa berhenti berpikir
tentang perasaan yang entahlah terasa aneh tapi aku pun tak tahu apa yang sedang
aku pikirkan ini. Dimana kah harus ku cari jawabannya? Tapi bagaimana aku bisa
menemukan jawabannya ketika aku sendiri pun tidak memiliki pertanyaannya? Sepertinya
aku harus mengungkapkan semua ini pada Galih. Bukannya suatu komitmen harus
didasari dengan keterbukaan?
“Sayang, aku
merasa ada yang berbeda pada kita akhir-akhir ini. Aku merasa kita semakin
jauh. Bisa kah kita bahas semua ini weekend
nanti?” Aku mengirim pesan padanya.
“Iya sayang,
kamu mau ngomong apa? Weekend nanti
aku telepon ya.” Jawabnya singkat.
Aku berharap weekend ini akan menjadi wadah yang
menjembatani dimana kami bisa seperti dulu lagi. Aku hanya merasa mungkin
hubungan kami sudah berada di titik kejenuhan mengingat kami sudah bersama
hampir 3 tahun sehingga ini adalah fase wajar dalam sebuah hubungan. Tak ada
firasat yang lebih buruk dari itu.
“Hai Rey, salam kenal ya. Susah
sekali aku menghubungimu, akhirnya ku dapatkan juga kontakmu. Kenalkan aku
Sandra. Aku sudah lama sekali penasaran siapa kah dirimu? Apa hubunganmu dengan
Galih? Apa kau saudaranya?”. Sebuah pesan singkat dari nomer tidak dikenal.
“Halo Sandra,
salam kenal juga. Galih? Dia pacar aku. Ada apa ya? Dan siapa kamu?” Balasku
tidak sabar.
“What?? Really? Galih mengaku padaku
bahwa dia jomblo. Aku pacarnya, kami berkenalan 4 bulan yang lalu dan kami
jadian 2 bulan yang lalu”
“Aku
pacarnya. Kami sudah bersama hampir 3 tahun. Maaf, jangan becanda dengan ku,
kalo kamu punya bukti, silahkan kirim semua bukti itu sehingga jelas siapa yang
berbohong disini.” Kekhawatiran memuncak tapi aku berusaha tenang dan berpikir
perempuan itu hanya main-main denganku. Tak lama kemudian, pesan dari Sandra ku
terima. Kedua tangan dan jari-jariku gemetar, bibirku terkunci rapat, hanya
airmata yang mengalir semakin deras. ‘Galih,
mengapa kau lakukan ini padaku?’
Aku
mencoba menghentikan tangisanku ketika handphone
ku berdering. Galih meneleponku. “Halo sayang, gimana? Kamu mau ngomong
apa?”. “Galih, sinyal aku jelek, kita chat aja ya.” Aku sengaja mencari alasan
dan menutup teleponku.
“Galih, siapakah Sandra?”
“Sandra? Oh itu teman aku waktu smp. Kita
bertemu lagi waktu reunian kemarin. Ada apa dengan Sandra?”
Aku tak ingin
membuang waktu lagi dengannya. Aku mengirim semua bukti yang ku dapat dari
Sandra, “Jelaskan padaku lih, apa maksud
semua ini..”
“Rey.. Aku tahu aku sangat jahat sama kamu,
aku bodoh.. aku tahu bahkan permintaan maaf ku nggak akan pernah mengobati rasa
sakit yang kamu rasain saat ini. Aku bahkan nggak tau rey kenapa aku bisa
lakuin ini sama kamu, semua terjadi begitu saja.. Rey, kamu berhak sama orang
yang jauh lebih baik, aku cuma laki-laki kotor yang nggak bisa pegang janji..
Maafin aku Rey..”
Galih, terima kasih telah
singgah meski hanya sementara. Persinggahanmu memberikan warna tersendiri di
kehidupanku. Denganmu, aku mengenal banyak hal. Dan darimu, aku belajar satu
hal berharga, betapa mahalnya sebuah kesetiaan. Kini aku menemukan jawabannya, alasan
yang selama ini aku cari.. Mengapa aku bisa membencimu tanpa alasan? Kata hati
memang tak pernah salah.